Rabu, 30 Juli 2014

HUBUNGAN JENIS TERAPI CAIRAN PARENTERAL DENGAN TERJADINYA FLEBITIS

HUBUNGAN JENIS TERAPI CAIRAN PARENTERAL DENGAN TERJADINYA FLEBITIS 

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia secara fisiologis, sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan yang dikenal sebagai Tota Body Water (TBW) dengan persentase 60%-80%. Secara keseluruhan, kategori persentase cairan dan elektrolit tubuh bervariasi bergantung pada faktor usia, lemak dalam tubuh dan jenis kelamin (Hidayat, 2008). Mengingat pentingnya fungsi dari cairan dan elektrolit tersebut dalam tubuh maka salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien di Rumah Sakit adalah pemberian terapi cairan parenteral melalui pemasangan infus.
Terapi cairan parenteral adalah pemberian cairan kedalam tubuh melalui jarum kedalam pembuluh vena untuk mengganti kehilangan cairan. Pemasangan infus biasanya diberikan pada pasien yang mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan, pasien yang susah makan dan lain-lain. Pemberian cairan parenteral harus mendapatkan perhatian dan pemantauan khusus dari perawat dan dokter rumah sakit. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat pemberian cairan parenteral.
Komplikasi sistemik dari pemberian terapi cairan parenteral yang berlebihan akan membebani sistem sirkulasi, hal ini terutama mungkin terjadi pada pasien dengan gangguan jantung, stroke dan lainnya. Komplikasi lokal yang dapat terjadi yaitu adanya Infiltrasi. Infiltrasi ditunjukkan dengan edema di sekitar tempat penusukan, ketidaknyamanan, rasa dingin di area infiltrasi, dan penurunan kecepatan aliran yang nyata.
Kebutuhan cairan pada pasien yang menjalani perawatan di Rumah sakit harus dapat tercukupi terutama pasien dehidrasi, stroke dengan penurunan
2
kesadaran dan pasien lainnya yang memerlukan terapi cairan parenteral. WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa sebanyak 9 juta pasien yang dirawat di Rumah Sakit tiap tahunnya mendapatkan terapi cairan parenteral (WHO, 2013). Di Indonesia, meski belum ada data akurat, diperkirakan ada 900.000 pasien di Rumah Sakit yang mendapatkan terapi cairan parenteral setiap tahunnya (Kompas.com, 2013). Di Kalimantan Tangan, meskipun tidak ada data yang pasti tentang jumlah pasien yang mendapatkan terapi cairan parenteral, tetapi penelitian Perawaty tahun 2011 menyatakan sekitar 6.000 pasien yang dirawat di Rumah Sakit mendapat terapi cairan parenteral setiap tahunnya. Terapi cairan parenteral pada pasien yang dirawat di RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas di fokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk pengobatan. Sebanyak 88% dari pasien yang dirawat mendapatkan terapi cairan parenteral. Data Rekam Medik tahun 2012 ditemukan sebanyak 1330 pasien yang dirawat di RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas mendapatkan terapi cairan parenteral. Pemberian terapi cairan parenteral atau pemasangan infus memerlukan pengawasan dan pemantauan yang khusus dari perawat dan dokter di Rumah Sakit. Pengawasan terhadap tempat penusukan, lama pemberian dan jenis cairan yang diberikan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi selama pemberian cairan tersebut. Salah satu komplikasi yang sering ditemukan adalah terjadinya flebitis pada vena. Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik dari iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Flebitis dikarakteristikan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi, dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena. Flebitis dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya menjadi thrombophlebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak,
3
tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk ke jantung maka dapat menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara mendadak dan menimbulkan kematian. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena dan komposisi cairan atau obat yang di injeksi (terutama pH dan tonisitasnya), (Brunnert & Suddart, 2002). Menurut data survelans World Health Organisation (WHO), menurut data survelans World Health Organisation (WHO) tahun 2012, dinyatakan bahwa kejadian infeksi nasokomial berupa flebitis cukup tinggi yaitu 5% per tahun (WHO, 2012). Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang prevalensi infeksi flebitis pada pasien yang mendapatkan terapi cairan intravena. Jumlah kejadian plebitis menurut Distribusi Penyakit Sistem Sirkulasi Darah Pasien Rawat Inap, Indonesia Tahun 2012 berjumlah 744 orang (17,11%), (Kemenkes RI, 2012). Beberapa penelitian tentang kejadian flebitis diantaranya penelitian Nurjanah (2011), di RSUD Tugurejo Semarang menyatakan bahwa ada hubungan antara lokasi penusukan infus dengan kejadian flebitis. Penelitian Aprillin (2011), yang dilakukan terhadap 20 pasien rawat inap yang terpasang infus di Puskesmas Krian Sidoarjo, 14 orang pasien diantaranya mengalami flebitis. Di Kalimantan Tengah khususnya di RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas pada tahun 2012 sebanyak 118 pasien dari 1330 pasien yang mendapatkan terapi parenteral mengalami flebitis, 94 pasien diantaranya adalah pasien stroke yang dirawat di ruang ICU (Rekam Medik, 2012). Menurut Smeltzer (2001), faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya flebitis adalah faktor kimia seperti jenis cairan dan obat yang digunakan, kecepatan aliran infus serta bahan kateter. Jenis terapi cairan dengan pH dan osmolaritas (tingkat kepekatan) cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi, mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut
4
sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis. Jenis terapi cairan dan nutrisi parenteral dengan pH dan osmolaritas tinggi lebih bersifat flebitogenik dibandingkan cairan dengan pH dan osmolaritas lebih rendah. Flebitis kimia terjadi ketika cairan dengan pH yang tinggi, osmolaritas yang > 500 mOsm/L yang diberikan melalui intravena, sedangkan flebitis bakterial terjadi akibat sistem intravena yang terkontaminasi oleh bacteri (Hanskin, Lonsway, Hendrick, Pardue, 2001 dalam Nurjanah, 2011). Pembagian jenis cairan intravena berdasarkan osmolaritas atau tingkat kepekatatnnya dibagi menjadi 3 yaitu hipotonik, isotonic dan hipertonik. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik”cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah dan mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Contohnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya terbagi 2 yaitu: Kristaloid dan Koloid. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh
5
darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis. Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid. Kejadian flebitis paling sering terjadi pada pasien-pasien yang menjalani rawat inap dan mendapat terapi cairan parenteral khususnya pasien stroke yang dirawat di ruang ICU (Intensive Care Unit). Pasien stroke yang dirawat di ruang ICU akan mendapatkan terapi yang bermacam-macam untuk pemulihan keadaan umum pasien termasuk terapi cairan parenteral. Pemberian terapi cairan parenteral yang adekuat seringkali disertai dengan terjadinya flebitis pada infus. Pemberian terapi cairan parenteral pada pasien stroke bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum dan komplikasi yang terjadi serta mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit (Almatsier, 2006 dalam Nurjanah, 2011) Pasien stroke dengan keterbatasan fisik dan disertai komplikasi akan sangat memerlukan terapi cairan parenteral sebagai nutrisi dan sebagai pengobatan. Selama dirawat ruang ICU pasien stroke akan mendapatkan berbagai jenis terapi cairan parenteral baik sebagai nutrisi parenteral maupun sebagai terapi cairan parenteral. Jenis terapi cairan parenteral pasien stroke diantaranya bermacam-macam tergantung kebutuhan terapi pasien dan keadaan umumnya. Darmawan (2008), menyatakan bahwa pada pasien stroke dengan disertai TIK, akan diberikan osmoterapi dengan cairan Mannitol selama beberapa hari. Pasien stroke dengan terapi diuretic seperti forusemid akan memerlukan loading cairan parenteral dalam jumlah banyak agar keseimbangan cairan dan elektrolit tetap terjaga.
6
Flebitis juga sering terjadi pada pasien stroke yang dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas. Pasien stroke khususnya pada serangan akut akan menjalani perawatan dan pengobatan di ruang ICU, hal ini dikarenakan RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas masih belum mempunyai ruangan/Unit khusus untuk perawatan pasien stroke. Data Rekam Medik dan dokumentasi keperawatan ruang ICU tahun 2012, dari 330 pasien stroke yang dirawat di ruang ICU dan mendapat terapi cairan parenteral, 94 pasien atau 28% diantaranya mengalami flebitis. Angka kejadian flebitis rata-rata tiap tahunnya adalah 29 pasien atau 8,8% sedangkan setiap bulannya untuk ruang ICU adalah 7 kasus flebitis atau 2,3%. RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas sebagai tempat pengambilan data penelitian dikarenakan Rumah Sakit tersebut merupakan satu-satunya Rumah Sakit yang ada di Kabupaten Kapuas. Pemilihan pasien ICU sebagai responden penelitian dikarenakan pasien stroke yang dirawat di ruang ICU pasti akan mendapatkan berbagai macam terapi cairan dan nutrisi parenteral seperti cairan isotonic, kristaloi dan koloid. Pasien stroke terutama pada fase kritis harus mendapatkan perawatan intensif dan monitoring ketat di ruang perawatan ICU dari mulai terapi cairan sampai pencegahan komplikasi (Setyopranoto, 2003). Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juli 2013 di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas, dari 35 pasien stroke yang mendapatkan terapi cairan parenteral, 17 pasien atau 48% diantaranya mengalami flebitis pada infus. Dari 17 pasien yang mengalami flebitis tersebut, 11 pasien mendapatkan terapi cairan parenteral dengan jenis cairan hipertonik yaitu Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, terapi albumin parenteral dan terapi parenteral lainnya. Sedangkan 4 pasien lainnya yang mengalami flebitis mendapatkan terapi cairan dengan jenis cairan hipotonik dan isotonik yaitu Ringer Laktat, NaCl 0.9% dan terapi parenteral lainnya.
7
Adapun jenis cairan yang biasa diberikan pada pasien stroke yang dirawat di ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas contohnya adalah Dextrose 5%, Ringer Lactate, Asering, NaCl 0,9%, albumin parenteral, Martos-10, Aminovel-600, Aminofluid, dan terapi cairan Manitol (Rekam Medik, 2013). Jenis-jenis cairan tersebut akan sangat berisiko menyebabkan terjadinya flebitis pada vena bila diberikan dalam jangka waktu lama dan pemberiannya dengan cara digabungkan misalnya NaCl 0,9% dengan Dextrose 5%. Hal tersebut dikarenakan sifat cairan akan berubah dari isotonic menjadi hipertonik dimana sifat cairan hipertonik memiliki tingkat osmolaritas tinggi dan akan lebih lama berada didalam pembuluh darah vena sehingga sangat berisiko menyebabkan terjadinya flebitis pada vena. Flebitis kimia terjadi ketika cairan dengan pH yang tinggi, osmolaritas yang > 500 mOsm/L yang diberikan melalui intravena (Hanskin, Lonsway, Hendrick, Pardue, 2001 dalam Nurjanah, 2011). Insiden flebitis dan infeksi yang terkait dengan pemberian terapi cairan intravena di ruang perawatan Rumah Sakit khususnya di ruang ICU dapat dicegah atau dikurangi dengan intervensi keperawatan yang tepat. Infeksi yang terkait dengan pemberian terapi cairan infus/parenteral dapat dikurangi dengan empat intervensi yaitu perawat melakukan teknik cuci tangan yang aktif untuk menghilangkan organisme gram negatif sebelum mengenakan sarung tangan saat melakukan prosedur pungsi vena, mengganti larutan intravena sekurang-kurangnya setiap 24 jam, mengganti semua kateter vena perifer termasuk lok heparin sekurang kurangnya 72 jam, selain itu mempertahankan sterilitas sistem intravena saat mengganti selang, larutan dan balutan (Potter & Perry, 2005). Flebitis merupakan masalah yang serius bagi pasien yang menjalani perawatan di Rumah Sakit. Akibat dari kejadian flebitis dapat menimbulkan masalah pada ketidaknyamanan pasien, menambah kesakitan, menambah lama perawatan, dan akan menambah biaya perawatan (Aryani, et al., 2009
8
dalam Nurjanah, 2011). Sedemikian besar tanggung jawab yang dihadapkan pada seorang perawat akan tindakan pemberian cairan infus itu tentunya akan menjadi pemicu agar perawat terus berkembang dan meningkatkan kemampuannya serta tanggung jawabnya terhadap intervensi keperawatan yang sudah diberikan. Tanggung jawab perawat tersebut khususnya pada upaya pencegahan terjadinya flebitis dan mengenali faktor penyebabnya terutama jenis-jenis cairan parenteral yang bersifat flebitogenik.
1.2 Rumusan masalah
Apakah ada hubungan antara jenis terapi cairan parenteral dengan terjadinya flebitis pada pasien stroke yang dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara jenis terapi cairan parenteral dengan terjadinya flebitis pada pasien stroke yang dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengidetifikasi jenis terapi cairan parentaral pada pasien stroke yang dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas
1.3.2.2 Mengidentifikasi terjadinya flebitis pada pasien stroke yang dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas
1.3.2.3 Menganalisis hubungan antara terapi cairan parenteral dengan terjadinya flebitis pasien stroke yang dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas
9
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan informasi bagi perawat tentang hubungan antara jenis terapi cairan parenteral dengan terjadinya flebitis dan menambah wawasan tentang mutu pelayanan keperawatan dalam merawat pasien dengan disertai flebitis dan pencegahan terjadinya flebitis.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan khususnya untuk menambah referensi dalam proses belajar mengajar mengenai hubungan antara terapi cairan parenteral dengan terjadinya flebitis dan sebagai bahan acuan penelitian yang akan datang.
1.4.3 Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan penulisan laporan penelitian terutama tentang pengkajian dan pencegahan flebitis khususnya pada pasien stroke yang beresiko mengalami flebitis yang di rawat di ruang ICU.
1.4.4 Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan sebagai data dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya.
1.5 Penelitian terkait
1.5.1 Fauziah (2010), meneliti tentang “Hubungan Teknik Pemasangan Infus Dengan Kejadian Flebitis Pada Ruang Rawat Inap RSUD Dr.H.Moch.Ansari Saleh Banjarmasin”. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan penelitian Cohort. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan yang bermakna antara Teknik Pemasangan Infus Dengan Kejadian Flebitis Pada Ruang Rawat Inap RS.Dr.H.Moch.Ansari Saleh Banjarmasin. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel independennya yaitu teknik pemasangan infus dan pada rancangan penelitiannya menggunakan
10
metode Cohort. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien rawat inap yang mendapatkan tindakan pemasangan infus dengan jumlah sampel 115 responden. penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2010.
1.5.2 Andi Jaya (2012), meneliti tentang “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Flebitis Pada Pasien Di Ruang Nilam Dan Ruang Kumala RS.Dr.H.Moch.Ansari Saleh Banjarmasin”. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan Cross-sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap yang mendapat terapi intravena pada bulan maret 2012 sedangkan sampel pada penelitian ini berjumlah 126 responden. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara cairan infus, jenis kateter infus yang dipasang, ukuran kanul infus, dan lamanya pemasangan infus dengan kejadian flebitis. Tetapi tidak ada hubungan antara lokasi pemasangan infus dengan kejadian flebitis. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel independennya yaitu faktor yang berhubungan dengan kejadian flebitis, populasi seluruh pasien rawat inap yang mendapat terapi intravena, jumlah sampel 126 responden dan waktu pengambilan data sampelnya pada bulan Maret 2012.
1.5.3 Annisa Purnama Sari HK (2012), meneliti tentang “Hubungan Lama Dipasang Infus Dengan Kejadian Flebitis Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin”. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan Cross-sectional. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan signifikan antara lama dipasang infus dengan kejadian flebitis di ruang penyakit dalam RSUD Ulin Banjarmasin. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel independenya yaitu lama dipasang infus, populasi yaitu seluruh pasien ruang penyakit dalam yang mendapatkan pemasangan infus pada bulan Maret 2012 dengan jumlah sampel 30 responden dan waktu penelitian dilakuka pada bulan Maret 2012.



BERMINAT MEMILIKI FILE LENGKAP DARI JUDUL SKRIPSI DI ATAS ATAU FILE SKRIPSI YANG ANDA CARI TIDAK ADA DALAM POSTING KAMI, SILAKAN HUBUNGI KAMI VIA EMAIL ATAU DENGAN MEMBERI KOMENTAR PADA POSTINGAN YANG ADA DI BLOG

2 komentar:

  1. saya Basyarul Haqiqi Mahasiswa kelas program khusus STIKES BHAMADA SLAWI TEGAL, saya meminta file asli skripsi saudara/saudari sebagai bahan referensi skripsi yang sedang saya susun. atas realisasinya saya mengucapkan terimakasih email saya : basyarul_haiqi@ymail.com

    BalasHapus
  2. ralat ealamt email saya : basyarul_haqiqi@ymail.com

    BalasHapus